Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat
yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua
pengertian:
(1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat
dari kawat baja atau besi dan
(2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda
Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat
gesek yang lain. Naskah
kuno Sewaka Darma dari awal abad ke-18 telah menyebut nama tarawangsa
sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar
abad ke-15—16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh
para penyebar Islam dari tanah Arab dan India.

Seni Jentreng atau Tarawangsa adalah kesenian yang tumbuh
dari pola kehidupan bertani masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang

Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu
orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa
terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya
adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya
dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas
hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para
penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur.
Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka
bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian
hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa
tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang
dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi
dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik
semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan
kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering
mengalami trance (tidak sadarkan diri).

0 komentar:
Posting Komentar